Press "Enter" to skip to content

Penanganan Covid-19 dalam Perspektif Pemerintahan

Oleh: Luthfi A Mutty (Mantan Anggota DPR RI)

WHO menetapkan Covid 19 sebagai pandemi. Virus ini tidak hanya mengancam nyawa manusia. Ekonomi pun ikut terpapar. Bukan lagi sekadar resesi melainkan mengarah pada depresi ekonomi.

Menkeu Sri Mulyani dalam suatu kesempatan sudah mengingatkan. Ekonomi kita mungkin akan stagnan di kisaran 0%. Artinya, pengangguran akan meningkat tajam. Kemiskinan akan bertambah. Angka kriminalitas tentu ikut meningkat. Terkait hal itu, pemerintah perlu melakukan tindakan secara terstruktur dan sistematis.

Maka, Covid 19 tidak cukup lagi sekedar ditangani sebagai bencana berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penggulangan Bencana. Sudah selayaknya juga digunakan UU No.23/Perubahan Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. UU ini mengatur 4 tingkatan status keadaan negara. 1) tertib sipil. 2) darurat sipil. 3) darurat militer. 4) darurat perang.

Di negara demokratis, kewenangan menyatakan negara dalam keadaan darurat berada di tangan pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Tentu dengan persetujuan parlemen.

Mengingat eskalasi serangan covid 19 yang sudah demikian menghawatirkan, maka negara perlu segera ditetapkan dalam keadaan darurat sipil. Dengan status ini, pemerintah memiliki acuan bertindak yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan secara administrasi, hukum dan politik.

Dengan status darurat sipil, pemerintah terutama kepala daerah selaku penanggung jawab ketentraman dan ketertiban masyarakat di daerah, menjadi Penguasa Darurat Sipil. Dengan status ini, kepala daerah memilik kewenangan diskresi yang luas untuk bertindak. Termasuk membatasi lalu lintas orang.

Pasal 19 UU ini menetapkan bahwa penguasa darurat sipil berhak membatasi orang berada di luar rumah. Dengan status ini pula, seluruh lembaga pemerintah yang ada di daerah, secara taktis operasional berada di bawah kendali kepala daerah.

Dalam situasi darurat sipil, kepala daerah selaku penguasa darurat dapat bertindak mengenyampingkan hukum demi kepentingan umum (nach freies ermessen). Misalnya, melarang orang berada di luar rumah untuk jangka waktu tertentu. Menyita barang kebutuhan pokok yang ditimbun oleh seseorang. Mengatur distribusi bahan pokok. Memerintahkan menindak oknum yang meresahkan warga, dll.

Semua tindakan itu cukup dilakukan lewat maklumat. Adapun aparat keamanan dan penegak hukum wajib mengawasi, memastikan, dan menindak jika maklumat itu tidak ditaati. Jadi bukan instansi lain yang mengeluarkan maklumat. Tetapi kepala daerah selaku penguasa darurat.

Ketika negara dalam keadaan normal, statusnya disebut dalam keadaan “Tertib Sipil”. Situasi akan berubah ketika karena sesuatu hal, terjadi situasi darurat. Sesuatu hal itu bisa karena bencana atau serangan wabah, bisa karena kerusuhan, atau karena perang.

Kasus Corona yang melanda negara kita mengalami eskalasi yang demikian cepat. Keadaan ini tidak bisa lagi ditangani secara “procedure as usual”. Diperlukan langkah cepat yang luar biasa. Perlu extraordinary action. Bukan saja untuk menyelamatkan nyawa manusia dari serangan yang mematikan, tetapi juga untuk menyelamatkan perekonomian negara dari tindakan para predator ekonomi.

Maka, sekali lagi, tidak ada pilihan lain, pemerintah harus menetapkan status negara dalam keadaan darurat. (via PalopoPos)