Press "Enter" to skip to content

Agenda Strategis dan ‘PR’ Besar Generasi Milenial Luwu

Oleh: Harun Al Rasyid

Akankan generasi milenial Luwu Raya masih bangga ber-IPMIL seperti kami dulu? Inilah salah satu hasil diskusi yang menarik hari ini terkait fenomena lembaga dan organisasi kampus yang mengalami pergeseran pergerakan.

Sekitar awal tahun 90-an, organisasi yang berpengaruh dan menjadi rujukan utama di kampus adalah lembaga internal kampus.

Tetapi sekitar pertengahan 90-an mulai berkembang organisasi-organisasi kedaerahan (Orda) dan yang paling menonjol saat itu adalah IPMIL (Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Luwu).

Organisasi IPMIL berkembang pesat bersama orda lainnya, semisal orda Bone, Soppeng, Wajo dan dari selatan Bulukumba serta Jeneponto, dan lainnya.

Begitu membanggakannya, sehingga banyak mahasiswa yang bukan kelahiran tanah Luwu, berjuang untuk ikut Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) yang diselenggarakan oleh IPMIL agar dapat diterima dan bergaul dengan orang Luwu yang macca seperti saya contohnya. 🙂

Kala itu, untuk bersilaturahmi dengan sesama aktivis orang Luwu begitu mudah. Kita cukup mampir di HMI, Senat Kemahasiswaan, Himpunan atau organisasi organisasi lainnya, pasti ada orang lepasan IPMIL di dalamnya, apalagi kalau kita mampir di Jalan Kijang, Sungai Limboto dan Serigala.

Dominasi IPMIL mulai tergerus seiring secara demografis wilayah Luwu Raya mengalami pemekaran yang juga membawa dampak pada organisasi IPMIL mulai terpecah.

Di era reformasi sekarang akhir tahun 2000-an, Organda, istilah polisi untuk menunjuk organisasi mahasiswa berbasis kedaerahan, mulai marak lagi dan semakin memberi warna di kampus.

Hanya saja dominasi generasi dari Luwu melalui organisasi IPMIL tidak lagi terjadi seperti era-era lalu. Organda Bone jauh melambung.

Akibatnya juga terlihat pada perhelatan politik dimana kader kader IPMIL yang dulu begitu disegani mulai tergerus oleh pendatang baru, bahkan di Tana Luwu sendiri Wija to Luwu (WTL) harus keok oleh orang-orang dari luar.

Sebagai contoh adalah perolehan suara politisi Nasdem Rusdi Masse di Tana Luwu yang bahkan melampaui orang Luwu sendiri. Kondisi ini seolah menjadi dejavu Kedatuan Luwu dan Kerajaan Bone, serta kerajaan lain di masa lalu.

Dalam sejarah, Luwu adalah kerajaan tertua dan terbesar di Sulawesi Selatan dengan masa kejayaan antara abad 10 sampai 15 Masehi.

Sebagai kerajaan tertua, Luwu memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan penduduk yang beragam membuatnya mudah melakukan ekspansi dan membangun hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain.

Hubungan yang dimaksud bisa saja melalui hubungan perkawinan atau melalui penaklukan wilayah. Semua itu menjadikan kerajaan Luwu semakin besar dan berwarna dengan suku-suku yang sudah ada sebelumnya.

Luasnya wilayah dan beragamnya suku ternyata menimbulkan banyak perbedaan yang tidak mampu di-maintenance oleh para pengambil kebijakan di zaman itu. Akibatnya, Luwu harus menyerahkan bagian wilayahnya ke Wajo.

Nah, apakah kita sebagai Wija to Luwu akan membiarkan kondisi masa lalu terjadi lagi pada Pemilu 2024 mendatang?

Bagaimana mencermatinya dan menyusun langkah strategis untuk mendukung keterwakilan Wija to Luwu di parlemen (DPD, DPR/DPRD), termasuk untuk mengusung Pj Gubernur di Sulawesi Selatan.

Semuanya menjadi PR kita bersama, para Wija to Luwu!