Press "Enter" to skip to content

To Makaka Syukur Bijak

Oleh: Canny Watae

Selepas Siwa, Wajo, wajahnya mulai kelihatan. Dari 8 orang calon bupati dan wakil yang bertarung di Pilkada Luwu 2008 itu, yang langsung tertancap dalam benak adalah sosoknya.

Dengan tutup kepala yang bukan “standar nasional” kopiah, sebagaimana seringnya digunakan para politisi saat menampangkan diri di ruang publik, Syukur Bijak jelas merebut pandang. Ia menggunakan tutup kepala tradisional.

Saya tidak tahu apa sebutan setempatnya. Seratus persen “luput” dari radar persiapan saya yang memang hanya berfokus pada topik yang diwajibkan pemilik hajat: KPU Luwu.

Apatah lagi konsentrasi saya agak terganggu. Seminggu terakhir sebelum berangkat ke Belopa secuil informasi intel diteruskan ke saya: status merah (!). Flammable. Mudah terbakar.

Rasa lelah telah menempuh lebih dari 300 kilometer perjalanan darat dari Makassar tiba-tiba ter-energize. Otak terpancing.

Dalam sisa perjalanan ke Belopa saya beranalisis Syukur Bijak tentulah memahami dengan baik Political Marketing. Satu cabang keilmuan yang ketika itu terhitung masih sangat baru untuk Indonesia yang baru 4 tahun sebelumnya menghelat pemilu secara langsung.

Mirip dengan marketing kovensional saat menginjeksi produk ke pasar yang sudah kepalang ramai: diferensiasi. Apa pembeda produk baru dengan produk serupa yang sudah ada di pasar.

Seperti Lifebuoy yang puluhan tahun kita tahu adalah sabun, belakangan merambah pasar shampoo yang di sana ada bertahta Sunsilk. Sama-sama jualan anti-ketombe dan menutrisi rambut.

Lifebuoy memasang pembeda: “tidak gatal gatal”. Walau pun kedua-duanya sama-sama di bawah bendera produksi Unilever. Apakah jualan “keunikan” Syukur yang kasat mata itu mampu menarik niat-coblos pemilih kepadanya, dari 3 kompetitor lainnya?

Syukur dan pasangannya menang. Ia menjadi Wakil Bupati. Periode 2008-2013. Tahun 2019, ia kembali menjadi Wakil Bupati. Mendampingi orang yang pada Pilkada 2008 adalah salah satu kompetitornya.

Dua ribu dua puluh tiga. April. Saya baru menyadari Syukur Bijak bukanlah semata-mata menjual nilai-nilai tradisional hanya untuk sekedar meraih suara. Dia ternyata “given” untuk itu. Terkarunia untuk melakukan.

Dia ternyata (dalam rangka) mempertahankan nilai-nilai itu dengan cara masuk ke dalam sistem pemerintahan konstitusional. Dia mempraktekkannya di dalam. Di tengah-tengah sistem birokrasi yang telanjur baku mengenyampingkan norma kebijakan lokal saat memecahkan masalah-masalah pembangunan.

Syukur rupanya To Makaka. Pemangku Adat pada Kedatuan Luwu untuk wilayah Walenrang. Seorang Duke kalau dalam sistem kebangsawanan Inggris Raya.

To Makaka Syukur Bijak ternyata, meski pun menyandang status konstitusional Wakil Bupati, pernah datang tersungkur menghadap Datu Luwu di Istana.

Mengaku bersalah atas tindak tanduk salah satu anggota masyarakat (yang masih keluarganya) di kawasan yang masih wilayah tanggung jawabnya sebagai To Makaka. Dia sendiri pula yang memikul sanksi Kerajaan yang dijatuhkan untuk itu.

Orang seperti ini tentunya dipanuti dan didengar masyarakat di bawahnya.

Saya jadi mengerti sekarang. Ketika massa pendukung para calon kepala daerah di dalam gedung Simpurusiang memanas Oktober 2008 itu, Kapolres dan Dandim telah sigap berdiri dengan tongkat komando di tangan masing-masing, Syukur Bijak di podiumnya mengangkat setengah lengan kanannya. Menghadapkan telapak tangan ke arah massa. Dalam hitungan detik suasana berangsur tenang. Tanpa melihat pilihan politik, orang-orang patuh padanya.

Syukur Bijak wafat kamis, 6 April lalu.

Hari ini, Selasa 11 April 2023, masyarakat adat yang kepadanya Syukur Bijak telah berbakti akan memakamkan sang To Makaka setelah keputusan untuk penggantinya ada.

Almarhum mempertahankan nilai-nilai kebijakan lokal. Masyarakatnya memberi penghormatan dengan memberinya prosesi pemakaman adat.

Semua kita berasal dari padaNYA. KepadaNYA pula kita akan kembali. Beristirahatlah dalam damai, To Makaka Syukur Bijak.