Press "Enter" to skip to content

Aksi Bela Palestina, Jokowi dan Ketiga Capres

Oleh: Agus Wahid (Analis Politik)

Entah berapa juta orang, Mirip massa Aksi Bela Islam 212 (2016). Berarti, memang jutaan jumlahnya. Itulah kehadiran masyarakat dari lintas agama yang menghadiri acara Bela Palestina di Tugu Monas dan sekitarnya, pada 5 November ini.

Misi utamanya jelas: dari Jakarta (Indonesia) membahana sebuah pesan politik kemanusiaan. Yaitu, dukungan bangsa Indonesia terhadap pembebasan Palestina dari cengkeraman Zionis Israel. Sebuah misi yang lekat dengan persoalan asasi sebagai manusia yang berhak hidup dan memiliki negara secara berdaulat.

Sejarah mencatat, dengan bantuan Inggris, Zionis berhasil memekikkan berdirinya negara Israel pada 14 Mei 1948 dan sejak itulah terjadi perampasan hak hidup bangsa Palestina secara sadis, sistimatis yang jelas-jelas menabrak prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan.

Penjajahan itu – secara bertahab – terjadi mulai 1948. Tidak hanya ditandai dengan berdirinya negeri Zionis itu yang mencaplok Tanah Palestina, tapi Kota Suci Yerussalem distatuskan sebagai wilayah perwalian internasional PBB.

Namun, praktik perwaliannya tidak fair. Pembangunan komplek hunian besar-besar untuk penduduk Israel dibiarkan, tak menggubris teriakan kontra ototitas bangsa Palestina. Akibatnya, jumlah penduduk Israel meningkat tajam, sementara populasi bangsa Palestina tergerus karena perang dan emigrasi.

Memasuki tahun 1967, terjadi Perang Arab – Israel, yang mengakibatkan Tanah Palestina terampas secara signifikan. Sejarah mencatat, kekalahan Palestina berbuntut pada pemaksaan “pembagian wilayah Palestina” (Palestine Partision). Palestina hanya mendapatkan sebagian wilayahnya (Tepi Barat Yordan).

Dan memasuki Perang Arab – Israel 1973, Anwar Sadat selaku komandan perang itu berhasil mengecoh kekuatan Israel. Kekuatan Zionis pun porak-poranda. Dan karena penggunaan minyak sebagai senjata, meski hanya sekitar satu jam Saudi menutup keran minyaknya, membuat negara-negara Barat pun berhasil dipaksa untuk tidak memberikan bantuan politiknya dalam kancah diplomasi internasional.

Dampak penutupan keran minyak itu membuat sekitar sebulan, negara-negara Eropa padam. Kegiatan industrinya pun mengalami pelambatan produksi. Dunia mencatat, Israel dikecam oleh berbagai negara, termasuk Jepang yang sebelumnya selalu abstain. AS pun diam, tidak seperti biasanya: selalu memveto suara manapun yang anti Israel.

Itulah penderitaan panjang bangsa Palestina yang tak pernah terhenti, sampai saat ini. Berbekal Tanah Gaza sebagai wilayah otoritas bangsa Palestina menjadi tanah untuk mengembangkan hidupnya.

Namun, wilayah Gaza tak pernah sunyi dari gempuran Israel. Tidak setiap tahun. Tapi, gangguan itu – secara periodik – terus mengakibatkan korban umat manusia, tak pandang usia ataupun jender. Tak pandang lokasi rumah sakit dan penduduk orang awam, apalagi basis-basis pertahanan.

Itulah kebiadaban Zionis Israel yang memang tak pernah henti memerangi anak-bangsa Palestina. Demikian bencinya, Golda Meir – Perdana Menteri Israel pertama – menegaskan, “Bangsa Palestina tak ada di muka bumi ini”.

Itulah kebencian yang dapat kita catat sebagai kebijakan dalam negeri Israel yang diteruskan seluruh Perdana Menteri berikutnya, seperti Ben Guiron, Yitzak Robin, Yitzak Syamir, Ariel Sharon dan Benyamin Netanyahu.

Tak ada satupun PM Israel menunjukkan jiwa kemanusiaan, apalagi hak keberdaulatan untuk bernegara. Kebenciannya diartikulasikan dengan upaya maksimal membumihanguskan tanah dan bangsa Palestina.

Penderitaan bangsa Palestina menjadi perhatian dunia. Dan pada Ahad pagi, 5 November, Jakarta mengumandangkan pesan, yang – secara bersamaan – juga membahana di berbagai belahan dunia, termasuk di negeri komprador utamanya: Amerika Serikat.

Berita ternyar lebih heroik lagi: ribuan massa menghadang kapal super besar pengangkut senjata yang siap diluncurkan ke perairan Israel. Aksi heroik itu berhasil menggagalkan misi pengiriman senjata pemusnah untuk menghabisi anak-bangsa Palestina.

Sementara dan kini masih berlangsung, sejumlah negara seperti Iran, Yaman, Turki, Libanon Selatan dari unsur milisi Hizbullah, Rusia bahkan China dan Aljazair membantu pengerahan persenjataannya terhadap Hammas. Terlihatlah kekuatan maha dahsyat barisan Hammas dalam melancarkan serangan agresifnya terhadap Israel.

Belum lagi “tentara” Allah dalam bentuk banjir, angin torpedo, udara sangat panas, petir, jutaan burung hitam, pasukan berkuda putih, yang semuanya membungungkan dan tak bisa dicerna secara rasional. Semua kekuatan “bumi” dan “langit” ikut menggempur Israel tanpa ampun.

Barisan kekuatan Israel kalang kabut. Banyak jenderal dan pasukannya tertangkap. Tank-tank, helikopter dan persenjataan canggih Israel banyak yang hancur lebur oleh roket-roket Hammas.

Kini, bumi Israel bagai neraka. Banyak warga negara berhamburan untuk menyelamatkan diri. Kabar terananyar, gedung Knesset (parlemen Israel) pun terkena roket Yaman. Hancur lebur.

Banyak pihak menilai, nasib Israel sebagai negara Zionis tinggal tunggu waktu kemusnahannya. Hilang dari peta bumi. Kembali seperti sedia kala: yang tergambar hanyalah Palestina. Tak ada peta Zionis Israel.

Inilah suasana politik 2024 yang sedang menggariskan nasib negeri Zionis ke depan, sekaligus cahaya baru Palestina yang tak pernah henti memperjuangkan hak-hak asasinya, termasuk kedaulatannya untuk bernegara yang merdeka.

JOKOWI dan KETIGA CAPRES

Data bicara, dalam perhelatan “Lintas Agama Bela Palestina”, Jokowi tak terlihat batang hidungnya. Memang muncul Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, serta Ketua DPR RI Puan Maharani.

Jika kita telaah secara parsial, ketidakhadiran Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan punya makna yang sangat mendasar. Di satu sisi, bicara konstitusi dan politik negara, memang menegaskan bela Palestina. Tapi, ketidakhadirannya menunjukkan sikap hipokretnya. Bagi bangsa Indonesia sangat paham atas sikap hipokrasi Jokowi. Sejatinya lebih pro Israel.

Bagaimana dengan kedatangan Menag Yaqut? Jauh sebelum diangkat sebagai Menag, Yaqut selaku Ketua Banser saat itu berasyik-ria bersama para Rahib Yahudi. Bersama kakaknya, Yahya Staquf, Menag ini bertandang ke Israel. Tampak mesra.

Maka, kita bisa telaah, kehadiran Yaqut ke gelanggang acara Bela Palestina lebih merupakan unjuk gigi sebagai solidaritas bersama para tokoh agama yang bersifat lintas itu. Andai hanya muslim yang menyelenggarakan, dapat kita yakini, Staquf bakal absen. Why? Hati yang sesungguhnya memang pro Yahudi.

Bagaimana dengan Menlu dan Ketua DPR? Itu hanya politik “gincu”. Kamuflase. Hanya menjadi bemper untuk melindungi nama baik Jokowi. Karena itu, pidato politiknya hanya verbal semata. Tak terlihat ruh heroiknya yang sungguh-sungguh pro Palestina.

Kini kita saksikan panorama ketidakhadiran Prabowo dan Ganjar Pranowo. Sebagai capres, keduanya lebih menghitung dampak politiknya yang dinilai tidak menguntungkan. Kalkulasi yang stupid. Keduanya gagal membangun empati muslim, bahkan Nasrani dan umat lainnya yang sama-sama mencintai harkat manusia.

Keduanya – boleh jadi – tunduk pada titah Jokowi, sehingga sama-sama tak hadir. Minimal, keduanya membaca jejaring Zionis di muka bumi ini. Keduanya lebih takut pada jejaring Zionis, yang kiprahnya memang berperan besar dalam menentukan nasib capres. Minimal, keduanya “sendiko dawuh” terhadap AS yang memang sejalan dengan kepentingan politik Zionis.

Kalkulasi kedua capres itu – sekali lagi – menggambarkan calon pemimpin penakut, bergantung pada “restu” AS. Karenanya, kedua capres ini sejatinya lebih mengedepankan kepentingan sempit politiknya.

Karakter kedua capres ini menggambarkan sikap culas dan hipokret yang cukup benderang.

Dan yang jauh lebih memprihatinkan, jika di antara kedua capres ini berkuasa, maka kebijakan ke depannya hampir bisa dipastikan pro Israel dan atau Zionis pada umumnya. Sebuah keberpihakan yang paradok atau melawan konstitusi. Apa capres seperti ini yang diharapkan untuk memimpin negeri dan bangsa ini? No.

Sementara, kita saksikan capres Anies Baswedan. Dia tidak hanya lantang menyuarakan sikap pro Palestina, juga rona wajah dan teriakannya penuh dengan semangat patriotis untuk kepentingan bangsa Palestina.

Anies menunjukkan empatinya yang sangat mendalam terhadap suadara-saudara sesama umat manusia yang sedang berjuang untuk mendapatkan hak asasinya sebagai bangsa merdeka dan berdaulat penuh.

Dirinya sadar, ada konsekuensi politik selaku capres. Tidak tertutup kemungkinan, Zionis dengan seluruh anteknya di Tanah Air ini akan bergerak untuk menghadang Anies.

Tapi – bagi Anies – kepentingan sempit pribadi ini tidak boleh menyingkirkan kepentingan idealistik: kemanusiaan yang adil dan beradab harus diperjuangkan. Sila kedua Pancasila menjadi ruh utama sikap politik seorang Anies. Bukankah ini sikap Pancasilais sejati?

Itulah dedikasi dan integritasnya. Di satu sisi gambaran Pancasilais sejati. Di sisi lain juga mencerminkan sikap konstitusionalistik yang istiqamah.

Dedikasi, integritas dan konsistensinya menjadi hal mendasar bagi sang pemimpin untuk membangun negeri yang mandiri (berdikari). Bukan hanya slogan. Dan sang Anies yakin, dengan sikap politiknya yang tulus pro kemanusiaan akan menjadi getaran (either) seluruh elemen bangsa yang cinta kemanusiaan.

Pada akhirnya, Anies menjadi magnet dan sandaran seluruh elemen bangsa ini untuk menaruh harapan. Inilah kecerdasan politik seorang Anies, meski dirinya tak bermaksud mengkapitalisasi isu internasional (Palestina).

Bagi Anies, kehadirannya di tengah acara Bela Palestina adalah keterpanggilan kemanusiaan. Semua elemen manusia haruslah sama-sama terpanggil untuk misi kemanusiaan.

Dan sulit disangkal, sikap tegas dan jelas Anies akan mendapat simapati dunia yang sama-sama berjiwa kemanusiaan, apalagi elemen setanah air. Subhanallah… Jernih dan excellence memang cara pandangnya.

Bekasi, 5 November 2023