Press "Enter" to skip to content

Mengapa Ketimpangan Berpotensi Memburuk Pasca Pandemi?

Oleh: Hidsal Jamil
(Alumni SMANSA Malili, Peneliti di Pusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan (PKEPK) Universitas Brawijaya Malang)

Di tengah masifnya penyebaran pandemi Covid-19, Bank Dunia membawa kabar gembira bagi Indonesia.

Berdasarkan data tahun 2019, Bank Dunia merilis pendapatan nasional bruto per kapita Indonesia sekitar 4.050 dollar AS.

Dengan capai tersebut, Indonesia sudah dapat dikategorikan sebagai negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income).

Terlepas dari capaian tersebut, pembangunan ekonomi yang lebih inklusif tetap menjadi pertanyaan besar, bahkan semakin intens selama masa pandemi; apakah pendapatan di Indonesia telah terdisitribusi secara lebih merata pada setiap lapisan masyarakat?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita mencermati kembali kondisi ketimpangan sebelum menyebarnya pandemi Covid-19.

Ketimpangan Pra Pandemi

Mari kita kembali mengkaji kondisi ketimpangan Indonesia sejak Krisis Keuangan Asia 1998.

Selama Krisis Keuangan Asia, terjadi penurunan aktivitas ekonomi yang cukup tajam dan puluhan juta orang harus jatuh ke dalam jurang kemiskinan.

Namun demikian, pada periode tersebut tingkat ketimpangan individu mengalami penurunan cukup drastis dari rasio gini setahun sebelumnya mencapai 0,34 menjadi 0,31 pada periode krisis.

Terjadinya penurunan ketimpangan selama Krisis Keuangan Asia dikarenakan pengeluaran kelompok pendapatan terkaya mengalami penurunan cukup dalam.

Sebaliknya, pengeluaran kelompok pendapatan termiskin relatif tidak begitu berubah secara signifikan dikarenakan mereka yang berada di kelompok ini dapat berpindah dari ke sektor informal dengan skala usaha kecil, mikro, dan menengah.

Selanjutnya, selama dua dekade Pasca Krisis Keuangan Asia, ketimpangan individu di Indonesia yang dicerminkan dengan rasio gini mengalami peningkatan sebesar 7 basis poin menjadi 0,38 pada tahun 2019.

Ketimpangan pada periode ini dikarenakan 20% kelompok terkaya menikmati ekspansi pendapatan dan konsumsi yang jauh lebih tinggi, dan pada saat yang sama, 40% kelompok termiskin tidak mengalami perubahan yang berarti.

Ketimpangan Pasca Pandemi

Lalu, bagaimana kondisi ketimpangan Indonesia pasca pandemi Covid-19? Jawaban dari pertanyaan ini dapat dilihat pada studi Davide Furceri dkk (2020) berjudul “Will Covid-19 affect inequality? Evidence from past pandemics”.

Secara garis besar, studi yang mereka lakukan memprediksi dampak pandemi Covid-19 terhadap ketimpangan individu berdasarkan pengalaman lima epidemi besar yang terjadi pada dua decade terakhir yaitu: SARS (2003); H1N1 (2009); MERS (2012); Ebola (2014); dan Zika (2016). Studi mereka juga menyertakan Indonesia sebagai sampel penelitian bersama dengan 63 negara lainnya.

Studi mereka memperkirakan terjadi peningkatan ketimpangan individu yang persisten pasca pandemi. Studi mereka mencatat rasio gini meningkat sekitar 0,75-1,25% pada saat lima tahun setelah pandemi berakhir.

Peningkatan ketimpangan individu pasca pandemi, paling tidak, dapat dijelaskan melalui dua mekanisme.

Pertama, ketimpangan individu yang memburuk dikarenakan respons kebijakan pemerintah selama proses pemulihan ekonomi pasca pandemi bersifat regresif. Artinya, manfaat dari stimulus ekonomi lebih banyak berpihak pada 20% kelompok terkaya dibandingkan dengan 40% kelompok termiskin.

Dalam banyak kasus, skema pemulihan ekonomi seperti kebijakan pelonggaran perpajakan dunia usaha, restrukturisasi kredit, dan subsidi bunga cenderung dinikmati korporasi besar.

Kalaupun UMKM yang menjadi tanggul hidup kelompok miskin dan rentan direncanakan memperoleh stimulus, namun efektivitas dari kebijakan ini sangat terbatas mengingat aktivitas UMKM di Indonesia banyak bersentuhan dengan lembaga keuangan informal.

Juga tidak ada jaminan kalau kebijakan stimulus UMKM memungkinkan mereka berkolaborasi dengan korporasi besar.

Kedua, ketimpangan individu yang memburuk disebabkan perbedaan kualitas SDM. Sebagai contoh, dunia usaha dan industri semakin masif melakukan digitalisasi pasca pandemi dan pada saat yang sama, melakukan perampingan tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi.

Sebagian besar pengurangan tenaga kerja cenderung menyasar SDM berketrampilan dan berpendidikan rendah.

Sedangkan, SDM berketrampilan dan berpendidikan tinggi yang sudah dibekali dengan literasi digital, kemampuan kolaborasi dan adaptasi yang memadai cenderung dipertahankan untuk meningkatkan produktivitas dan mengungkit daya saing perusahaan pasca pandemi.

Sayangnya, selama satu dekade terakhir transformasi ketenagakerjaan di Indonesia masih berjalan cukup lambat sehingga mayoritas tenaga kerja masih belum dibekali kemampuan yang dibutuhkan di era Revolusi Industri 4.0.

Potensi memburuknya ketimpangan individu bisa saja membuyarkan ikhtiar Indonesia untuk bergerak dari negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income) ke negara berpendepatan tinggi (high income).

Itu sebabnya, peringatan yang diutarakan oleh Joseph Stiglitz, peraih nobel ekonomi di tahun 2001, perlu kita cermati kembali dalam menyusun skema pemulihan ekonomi pasca pandemi; kebijakan yang melahirkan cacat ekonomi akan memunculkan cacat individu, dan selanjutnya menciptakan cacat masyarakat.

Tentu, kita berharap skema pemulihan ekonomi yang dirancang tidak berujung pada cacat ekonomi seperti yang dituturkan Stiglitz. (*)